12 Maret 2024

Bimbingan di Penghujung Tesis

Obrolan pada suatu momen bimbingan tesis bersama Pak Gagan Hartana Tupah Brama, 16 Juli 2014.

“Jadi, apakah ada yang disebut kebenaran universal, Pak?” tanyaku saat sekali lagi menemui beliau di ruangannya.

Tidak ada. Kebenaran itu relatif, tegasnya. Setiap orang dengan latar belakang budaya, pendidikan, keyakinan, dsb memiliki kebenaran versinya sendiri. Sesederhana begini, lanjut beliau dengan mengajukan sebuah pertanyaan padaku.

“Bagaimana cara membuat air mendidih?” Kujawab, direbus. Dipanaskan.

“Bagaimana bila airnya diletakkan dalam gelas plastik ini?” tanyanya sambil tangan kirinya mengangkat sebuah gelas kemasan air mineral.

“Wah, ga bisa, Pak. Plastiknya lebur jika dipanaskan.”

“Ah, ya. Jadi tidak bisa, ya.”

Lalu ia melanjutkan penjelasannya. “Ada sebagian orang yang sangat yakin dengan pandangannya bahwa air akan mendidih hanya jika dipanaskan. Ya, itu benar. Namun, ada sekelompok orang yang mencoba cara lain, lalu menemukan bahwa air bisa mendidih ketika partikelnya digerakkan dalam kecepatan sangat tinggi. Teknologi itu kini bisa dinikmati di rumah-rumah pada umumnya, dalam bentuk microwave. Air yang dipanaskan akan mendidih, tetapi air tidak harus selalu dipanaskan agar mendidih. Inilah perbedaan paradigma. Dan perbedaan itu adalah karunia.”

 

Perbedaan adalah karunia. Hargailah perbedaan. Jangan berdebat, tetapi berpijaklah dari apa yang orang lain tahu.

 

Berdebat tidak akan ada ujungnya, bukan? Nah, lalu bagaimana menghubungkan pemikiran antarpemikiran? Ya, itu tadi, bicaralah dari apa yang orang lain ketahui, bukan dari apa yang saya tahu. Jika masing-masing orang berbicara hanya dari sudut pandangnya, bukankah tidak akan terjadi pertukaran informasi? Memang benar bahwa diperlukan empati, keterbukaan, dan kebesaran hati.

 

Hmm… aku masih penasaran. “Kalau begitu, Pak, dengan dialog dan keterbukaan, orang bisa saling menyatakan kebenarannya dan diperoleh titik temu atau jalan tengahnya?”

“Bukan seperti itu,” beliau mencoba menjernihkan pemikiranku. Kebenaran itu bergulir. Pandangan yang satu akan memperkaya pandangan yang lain, dan begitu seterusnya, menjadi inovasi. Saat mendengarkan penjelasan beliau, kubayangkan bentuk pertemuan antarpandangan itu seperti spiral DNA, yang berjenjang, terkait satu di atas yang lain, dan terus mengulir tanpa akhir.

“Coba perhatikan, adakah benda-benda yang kita gunakan yang bukan hasil inovasi?” tanyanya. Semua itu hasil inovasi nenek moyang kita. Pakaian ini, kancing ini, contohnya.

 

“Saya sudah pernah cerita, belum…?” Kutegakkan dudukku, siap mendengarkan cerita beliau berikutnya.

“Saat berlibur di salah satu pulau di Kepulauan Seribu, saya membawa pulang sebuah pepaya. Buahnya berukuran kecil, tidak seperti pepaya pada umumnya. Saat dikupas di rumah, terkejutlah saya karena isi buah itu seluruhnya biji, tanpa daging buah. Kulitnya pun sangat tipis. Buah itu saya bawa ke laboratorium MIPA, dan barulah saya tahu bahwa itu jenis buah pepaya murni. Aslinya pepaya, ya, seperti itu. Ilmu pengetahuan dan penelitian akhirnya menghadirkan buah pepaya dengan daging buah yang tebal, yang kita nikmati sebagai buah pepaya.” Lalu imajinasiku membayangkan perbincangan para ahli, mungkin berpuluh-puluh tahun sebelumnya, yang menguji coba berbagai kemungkinan  jaringan hingga menghasilkan daging buah pepaya. Wow.. betapa perbedaan justru menciptakan inovasi baru dan bermanfaat. Pak Gagan melanjutkan, jangan-jangan kita ini hanya sebagai generasi yang menikmati kreasi dari para leluhur dan belum berkontribusi apa-apa pada kehidupan sekarang maupun untuk kehidupan generasi berikutnya. Hmm…iya juga.

 

Beliau melanjutkan lagi. Dalam Al-Qur’an tertulis, tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Ketika sudah sampai di Cina, pepatah di sana malah mengatakan bahwa di atas langit masih ada langit. Bangsa Cina sangat menghormati leluhur. “Ajaran ini mengajarkan kerendahan hati,” jelasnya. Dalam menghadapi perbedaan, yang diperlukan adalah kerendahan hati dan tidak merendahkan pihak lain. Bersikaplah rendah hati.

 

Dengan menyadari bahwa tidak ada kebenaran mutlak, bahwa kita akan selalu menemui perbedaan, maka pesan untuk rendah hati menjadi begitu kuat dan mengena untukku. Pesan berharga yang amat disayangkan jika tidak kubagi pada orang lain.

 

“Tetapi…” Beliau seperti teringat sesuatu. “Ada satu yang universal, yang dimilki setiap manusia, yang berlaku sama pada setiap manusia. (Ia adalah) Hati nurani." Hati yang akan sama-sama terusik, sama-sama tergerak. Terhadap apa? Setiap kita pasti bisa menjawabnya :)


18 Maret 2022

Tragedi Chernobyl dan Reputasi yang Dipertaruhkan

(Tulisan ini merupakan hasil refleksi berdasarkan film miniseri HBO berjudul “Chernobyl” yang saya tonton beberapa waktu lalu.)


Sebagian dari kita mudah merasa terancam oleh penilaian orang lain terhadap hasil kerja kita. Misalnya begini,  

A: “Prosesnya ini memang lama, ya?”

B: “Sudah saya awasi terus, kok, dari pagi tadi. Sampai-sampai saya telat makan siang.”

Atau mungkin ditanggapi B dengan, “Kalau mau cepat, minta bantuan jin aja.”

Mungkin Anda geleng-geleng merespon keanehan dua tanggapan tersebut karena tidak nyambung dengan pertanyaan. Pertanyaan yang sebenarnya hanya butuh dijawab “ya” atau “tidak”. Akan tetapi, yang ditanya pada contoh ini mudah sekali tersinggung, mungkin merasa dirinya tidak dipercaya, atau merasa diremehkan, sehingga memberi tanggapan membela diri atau tanggapan sinis.

Anda mungkin geleng-geleng keheranan dengan contoh tadi. Atau, apakah malah kondisi ini mencerminkan pengalaman Anda juga? Merasa ditekan atasan di kantor, direndahkan pasangan, dianggap tidak mampu oleh rekan. Menjadi bias karena penilaian yang keliru terhadap orang lain.

Situasi ini jelas bisa memperkeruh suasana. Bahkan bisa membahayakan ketika berdampak pada tindakan kerja, seperti yang dialami para staf di ruang kendali PLTN Chernobyl pada 26 April 1986.

“Dasar bodoh! Kamu melakukan kesalahan.”

“Kau kebingungan! Reaktor tidak meledak. Perkataanmu itu mustahil! Sebuah inti tidak bisa meledak. Pasti tangkinya.”

“Diam dan lakukan pekerjaanmu!”

Kira-kira semacam itu respon Anatoly Dyatlov sebagai atasan kepada stafnya. Langsung setajam itu. Menusuk harga diri mereka, tidak mempercayai mereka, mempermalukan di hadapan rekan kerja yang lain. Staf yang memberi laporan malah diragukan validitasnya, bahkan dianggap mengkhayal. Suaranya dinihilkan. Dan ketika staf lain mengajukan pendapat, ia dianggap melawan.

Benar-benar cara ampuh seorang atasan untuk membungkam pendapat bawahan yang berbeda, namun di sisi lain menjadi boomerang ketika dampak pengabaian ini sungguh berbahaya.

Sebenarnya apa yang membuat seorang atasan tidak mau mendengarkan bawahannya? Barangkali ego, barangkali ada reputasi yang dipertaruhkan apabila ketahuan bahwa ia salah dan gagal.

Sebagai pribadi yang keras dan tegas, dingin, berdedikasi, dan ingin tugasnya selesai, Dyatlov harus mempertanggungjawabkan hasil uji keamanan malam itu kepada atasannya. Ia sangat tidak bisa menoleransi kelalaian dan bawahan yang tidak kompeten. Kalau eksperimen itu tidak dilakukan atau tidak berhasil, bisa jadi ia khawatir hal itu mengancam kompetensinya dan mungkin, peluangnya untuk dipromosikan. Maka, fakta yang jelas-jelas ada, bahwa reaktornya telah meledak -dan ia sendiri pastinya mengetahui tanda-tandanya saat mengecek ruangan sekitar- ia tolak mentah-mentah. Ia pegang keyakinan palsu bahwa kondisi aman terkendali. Kita tidak benar-benar tahu alasan sikap dan perilakunya itu, semata karena kekerasan pribadinya atau mengandung kecemasan tingkat tinggi dalam situasi krisis. 

Sementara itu, di jantung pembangkit listrik itu, api telah berkobar-kobar, asapnya membumbung tinggi dan dentumannya telah membangunkan segenap warga pada dini hari itu.

Berapa harga yang harus dibayar atas kecerobohan kerja ini, termasuk politik, kebijakan, dan konstruksi PLTN yang berisiko? Sangat mahal. Pencemaran udara, tanah, dan air yang diperkirakan masih berdampak hingga 100 tahun. Tentu ada korban jiwa. Diperkirakan puluhan ribu nyawa (4.000-93.000) meninggal dan kenaikan drastis jumlah pengidap kanker, terutama pada anak-anak.

Tulisan ini tidak bermaksud mencari asal-muasal bencana dan siapa yang harus bertanggung jawab, karena biarlah mengenai hal itu, pembaca bisa mencarinya di tulisan-tulisan lain. Apalagi untuk mempersalahkan suatu pihak, saya tidak berhak. Tulisan ini sekadar memotret secuplik dari kisahnya.

Chernobyl pernah ada dan masih akan diingat dalam sejarah. Ia menjadi kenangan abadi (vichnaya pamyat). Menjadi pengingat bagi kita, setidaknya bagi saya pribadi, tentang poin berikut.

  • Senjata verbal kerap masih digunakan orang-orang dalam berelasi dengan rekan kerja, orang tak dikenal, bahkan bisa jadi dengan pasangan dan keluarga. Dengan senjata ini, orang membungkam lawan bicaranya agar keinginannya bisa terlaksana. Di sisi lain, senjata ini menghancurkan.
  • Salah satu human error dalam pekerjaan yang mungkin paling berbahaya adalah penyelamatan reputasi dan ego pribadi, yang membuat seseorang gelap mata sampai-sampai tidak mampu melihat fakta dan realita yang terjadi.
  • Dalam situasi krisis, atau mungkin dalam banyak persoalan, seringkali yang dibutuhkan adalah membuka mata dan telinga, untuk menyadari kebenaran yang jelas-jelas ada.

Sejarah adalah juga anugerah. Semoga kita yang menengok kepada sejarah bisa belajar dari cerita dan kenangan yang ada. 

11 September 2020

Menjumpai diri sejati melalui emosi

Kita pada umumnya memberi label emosi negatif pada emosi-emosi takut, marah, bosan, sedih, duka, untuk kemudahan kategorisasi (Davies, 2017). Padahal, apa itu negatif dan positif? Apakah yang negatif artinya dihindari, tidak pantas, tidak layak ada?

Emosi-emosi ini sebenarnya merupakan kekayaan kita, para manusia usia berapa saja yang terdampak pandemi tahun 2020.  Emosi yang tidak untuk ditolak.

Apabila sebelum pandemi ini, kita mudah menolak dan mengabaikan adanya kekecewaan, kegagalan, kesedihan, kesepian, konflik, kemudian mengalihkannya dengan aktivitas lain, biar lupa dan tegar. Kini, ketika perasaan-perasaan ini muncul, mau dialihkan dengan apa? Sekali dua kali mungkin bisa dicarikan substitusinya. Musik, masak, buku, media sosial, belanja online, mengobrol, tidur, lalu, apa berikutnya? Mungkin kita malah jadi lelah, uring-uringan, bete, bosan, ketika emosi ini hanya dialihkan.

Sedikit kita telaah tentang emosi. Emosi berasal dari kata emotere yang merupakan bahasa Latin, artinya energy in motion, energi yang bergerak. Keberadaan emosi menggerakkan manusia, entah untuk bertindak, beranjak, mundur, berlari, dsb.

Akan tetapi, bagaimana kalau emosi takut, bosan, sedih, dan duka ini bukan untuk diubah, tetapi dirasakan sepenuhnya dan membiarkannya memandu kita menjumpai diri sejati? Sesungguhnya, emosi menampakkan diri asli seseorang. Mari kita ingat-ingat reaksi kita pada minggu pertama pandemi, apakah cemas, dan kemudian apakah ikut panic buying, atau tenang santai selow, sibuk menggalang dana kemanusiaan, marah mengumpat, atau malah cuek tidak mengikuti berita?  Setiap reaksi, segala aksi, adalah ungkapan yang wajar dan manusiawi. Dalam konteks menjumpai diri yang sejati, kita hanya perlu menyadarinya.

If emotion is our intelligent body’s way of inviting us to align with our true self, intuition and inner knowing could be said to be direct communication from that true self (Davies, 2017). Melalui intuisi, kita bisa mengetahui pesan yang dikomunikasikan oleh diri sejati, yang dapat berupa rasa fisik, pikiran, atau letupan ide. Gagasan bahwa kebosanan merupakan katalisator yang membantu kita menemukan kebaruan, pastilah berawal dari sebuah intuisi dari para tokoh yang berkomunikasi dengan diri sejati mereka. Sama halnya dengan contoh berikut, masih mengangkat kisah Viktor E. Frankl (seperti pada artikel saya sebelumnya), ketika membantu kliennya.

“Seorang dokter umum berusia lanjut datang ke tempat praktik saya karena dia merasa sangat tertekan. Dia tidak bisa melupakan kematian istrinya yang terjadi dua tahun yang lalu, orang yang dia cintai lebih dari siapa pun. Saya mengajukan satu pertanyaan,’Katakan, Dokter, apa yang mungkin terjadi jika Anda lebih dulu meninggal daripada istri Anda?’ ‘Oh,’ katanya, ‘Dia pasti akan merasa sangat sedih, betapa akan menderitanya dia!’ Mendengar jawabannya saya berkata, ‘Anda lihat, Dokter, mendiang istri Anda terbebas dari penderitaan seperti itu, dan Andalah yang membebaskannya dari penderitaan seperti itu—tetapi, Anda harus membayarnya dengan tetap hidup dan berkabung untuknya.’ Tanpa mengatakan apa-apa dokter tersebut menyalami saya dan meninggalkan ruang praktik saya. Dalam banyak hal, penderitaan tidak lagi menjadi penderitaan ketika dia sudah menemukan maknanya, misalnya makna dari sebuah pengorbanan.”

Sejenak saya mencoba membayangkan emosi warga dunia yang sedang pekat menyelimuti bumi, dari pasien maupun keluarga pasien, pekerja maupun pengangguran, tenaga kesehatan maupun masyarakat awam, pemimpin maupun generasi muda. Emosi bisa menggerakkan kita, tidak hanya ke luar untuk diekspresikan dan dilampiaskan, tetapi juga menggerakkan ke dalam diri. Manfaatkan energinya. Ketika kita mau menghadapi emosi-emosi, entah bosan, sedih, luka, duka; menyadari keberadaannya, dan terhubung dengan diri sejati, kita akan mampu mendengar kebijaksanaan yang ada di dalam.


Referensi:

Britta C. 2017. How I learned to embrace my boring lifehttps://medium.com/@britta.c/how-i-learned-to-embrace-my-boring-life-1106080f3a56 Britta C 2017

Davies, Kyle. L. 2017. The Intelligent Body: Reversing Chronic Fatigue and Pain From the Inside Out. W. W. Norton & Company.

Frankl, Viktor E. 1992. Man’s Search for Meaning. Priyatna, Haris. 2017. Noura books: Jakarta, Indonesia.

02 Juni 2020

Ramai Instagram Live, apakah medium bagi personal wisdom?


Bagi warganet yang juga pengguna media sosial, pasti tidak asing dengan Instragram, dan salah satu fiturnya yang sedang tren saat ini, Instagram Live. Fitur Instagram Live menayangkan siaran langsung dari satu orang atau percakapan antara dua orang (kelak, menurut berita, bisa lebih dari dua orang), yang bisa ditonton oleh para pengguna Instagram di manapun. Karena terjadi saat itu juga, kita yang menonton seakan merasakan suasana langsung dengan penyaji dan bisa terlibat interaksi dengan cara berkomentar, bertanya, dan memberi tanggapan.

Fitur siaran langsung (live streaming), termasuk juga di Facebook Live dan YouTube, sudah tersedia sejak beberapa tahun lalu, dan semakin ramai digunakan akhir-akhir ini, sebagai salah satu kegiatan mengisi waktu di rumah saja. Meskipun ruang gerak warga sedang dibatasi sebagai bagian dari protokol penanganan Covid-19, bagaimanapun juga, keinginan bersosialisasi merupakan sifat alami manusia. Tak ada perjumpaan fisik, jumpa virtual pun jadi.

Ada banyak konten yang ditayangkan secara live, mulai dari berita atau pesan untuk publik, seminar, talkshow, konser, kuliah, tutorial, ulasan (review), demo produk/jasa, olahraga, tarian, pertunjukan seni, penggalangan dana, wawancara, atau bahkan aktivitas sehari-hari dari penyajinya, entah ia seorang pesohor atau awam.  Dari semua konten yang banyak rupa tersebut, saya tertarik untuk mengulas konten wawancara dalam tulisan ini.

Belajar dari siapa saja
Biasanya wawancara dilakukan dengan narasumber atau orang yang dianggap dapat menjadi sumber informasi dari bidang mereka masing-masing. Topik bahasannya tentang kesehatan, pendidikan, kebijakan pemerintah, fenomena sosial, psikologi, finansial, cita rasa seni, karya, resep masakan, meditasi, spiritualitas, dan sebagainya. Wah, ada begitu banyak hal yang bisa diperbincangkan dan dipelajari selama pandemi ini, dari orang-orang yang mungkin dalam kehidupan offline belum pernah atau sulit kita jumpai. Sebagian besar siaran wawancara ini tidak berbayar, hanya perlu bermodal kuota internet untuk bisa menyaksikannya.

Pada masa inilah, kita bisa belajar dari siapa saja. Belajarnya bisa apa saja. Tempatnya bisa di mana saja. Waktunya, menyesuaikan jadwal tayang jika ingin menonton live, atau bisa kapan saja jika konten tersebut disimpan secara permanen.

Menariknya, tak hanya soal keahlian narasumber, kita juga bisa belajar dari sudut pandang pribadi mereka, berdasarkan pengetahuan pribadi, pengalaman, dan perasaan mereka. Ini yang membuat saya berpikir tentang personal wisdom atau kearifan pribadi. Kearifan yang mereka bawa dan yakini dalam hidupnya selama ini. Buah-buah kearifan ini, jika kita mau peka untuk menyadarinya, akan sangat memperkaya cara pandang kita.

Personal wisdom
Kita bisa anggap personal wisdom sebagai pencerahan seseorang dalam hidupnya, yang tidak berkorelasi dengan kekayaan dan prestasi (artinya, tidak harus kaya dan juara baru bisa bijaksana), tetapi justru bergantung pada kematangan pribadi dan kemampuan penyesuaian diri dalam setiap perjalanan hidupnya. Tidak ada kebijaksanaan atau kearifan pribadi yang paling benar di antara semuanya, melainkan sangat bervariasi, karena setiap orang mengembangkan kebijaksanaannya sendiri (Marques, 2007). Kita semua masing-masing memiliki panggilan hidup yang berbeda maka bertemu tantangan yang berbeda dan menarik pelajaran yang berbeda juga.  

Seperti apakah orang yang memiliki personal wisdom? Menurut paradigma Bremen (Staudinger, 2013) orang yang memiliki personal wisdom biasanya sudah mengenal dirinya secara mendalam, baik dalam hal kompetensi, emosi, tujuan, maupun makna hidupnya. Ia mampu mengelola emosi meskipun dalam situasi sulit dan tetap mengembangkan relasi sosial yang sehat. Ia mampu mengambil jarak dengan dirinya dan merefleksikan hal-hal yang memicu perilaku dan perasaannya. Dalam prosesnya ini, ia mampu menerima dirinya serta menoleransi perbedaan pada orang lain. Pandangannya terbuka untuk melihat bahwa ada hal-hal yang ambigu atau tidak sesuai kenyataan, tidak pasti, tidak bisa dikontrol ataupun diprediksi.

Dari deskripsi tersebut, kita bisa bayangkan betapa kaya pengalaman bermacam-macam orang, apalagi bila sudah menjadi self-insight yang dimiliki orang tersebut. Sangat mungkin kita menemukan pandangan yang baru atau berbeda, yang berasal dari penghayatan personal orang lain. Biasanya kearifan ini bisa kita kenali dari pilihan sikap, peran, nilai atau prinsip yang dipegang, serta keputusan yang diambil. Fenomena ramainya wawancara, sharing, atau diskusi yang dilakukan melalui media sosial tampaknya bisa dimanfaatkan sebagai medium memperluas wawasan dan memetik kearifan pribadi.

Pernah dengar bahwa buku adalah jendela dunia? Tampaknya pengalaman orang lain adalah jendela kehidupan. Yang penting kita, baik yang mendengar dan membagikan pengalaman, mau membuka pikiran dan hati untuk hadirnya pemahaman.



Referensi:

Marques, Joan. 2007. Interbeing: Thoughts on Achieving Personal and Professional Excellence Toward Greater Mutuality. Icfai University Press

02 Mei 2020

Pendidik Pekerti


Selama kita pernah menjadi murid, setidaknya ada satu guru favorit yang berjasa dalam perkembangan pribadi kita. Mereka bisa jadi guru yang lembut dan penyayang, guru yang humoris, guru yang jenius, atau guru yang killer. Biasanya yang berkesan untuk jangka panjang bukan materi yang mereka ajarkan, tetapi karakter guru tersebut yang berdampak pada diri kita.

Satu guru yang termasuk salah satu top of mind saya adalah Ibu Roslin, guru pelajaran seni musik di SMP. Beliau terkenal killer, gaung namanya membuat kami tegak siaga, bahkan sampai kepada kakak-kakak senior kami di SMA yang pernah mengenal beliau. Seperti suatu sengat yang membuat kami berubah tertib dalam sekejap, entah di ruang kelas ataupun di lapangan sekolah. Saya pun termasuk kalangan siswa yang duduk tegang selama mendengarkan pengajaran beliau di kelas, sambil mondar-mandir atau sesekali duduk di bangku guru, seraya menggenggam penggaris kayu.

Akan tetapi, perasaan tegang itu berangsur berubah menjadi kekaguman, yang membuat saya justru fokus mendengarkan wejangan beliau, sehingga banyak pesannya masih saya ingat hingga hari ini. Saya pun merasa beruntung memiliki waktu tambahan menerima pengajaran beliau karena saya mengikuti ekstrakurikuler koor (paduan suara) yang diasuh oleh beliau.

Sekali-kalinya saya pernah kena tegur langsung adalah ketika tanpa sengaja melangkahi tanaman. Jadi ada jalan masuk selebar satu meter dan di sebelahnya dijadikan lahan untuk tanaman hias. Bukannya berjalan di jalan masuk, saya ambil gampangnya saja melangkahi tanaman hias yang tingginya juga tidak sampai selutut saya. Ibu Roslin ternyata melihat itu, dan saya ditegur kenapa tidak lewat jalan masuk yang benar dan malah melompati tanaman. Sebenarnya beliau lebih banyak mengajar budi pekerti ketimbang seni musik itu sendiri. Untuk materi seni musik, kami diminta pentas vocal group setiap minggu. Kalau dipikir-pikir sekarang, justru sebenarnya momen tampil itulah menjadi jam terbang kami melatih kepercayaan diri.

Saya juga heran, apakah materi budi pekerti itulah yang menarik untuk saya simak setiap minggunya. Misalnya, ketika mendengarkan guru, kami dilarang keras sebentar-sebentar menengok ke luar pintu melihat siapa saja yang lewat di sana. Beliau bilang, kalau nanti jadi pekerja, tidak boleh sebentar ada apa tengok ke luar, ada suara tukang bakso, suara orang mengobrol, dsb. Kalau dipikir-pikir sekarang, benar juga, supaya kami fokus dalam belajar dan bekerja. Istilah psikologinya, selective attention, bisa memilah hal-hal yang menjadi perhatian kita. Yang tidak penting dan tidak relevan, ya tidak perlu diperhatikan.

Kalau diberi instruksi, tidak boleh bertanya ulang. Misalnya, ibu meminta tolong, “Nak, ambilkan lap di dapur.” Lalu, kita jawab, “Lap di dapur?” Wah, bertanya balik macam begini dilarang keras. Diberi instruksi kok bertanya balik, itu tidak sopan, kurang lebih seperti itu penuturan beliau. Artinya, lagi-lagi melatih fokus, karena kalau fokus mendengarkan, tidak perlu bertanya lagi, tetapi langsung laksanakan.

Khusus untuk koor atau paduan suara gereja, dilarang keras tengok-tengok ke deretan bangku umat, kipas-kipas, minum, apalagi mengobrol. Haha, ini terdengar kaku sekali barangkali, ya. Tapi itulah kekhidmatan yang beliau mau tanamkan kepada kami. Termasuk juga berjalan dan berdiri dengan tegak, serta posisi memegang buku lagu yang tepat.

Jika berusaha diingat-ingat, pasti ada banyak sekali ajaran beliau yang mungkin sekarang ini sudah terinternalisasi ke dalam karakter saya. Tiga tahun mengenal beliau justru tidak menganggapnya sebagai guru killer, tetapi saya mengingatnya sebagai guru favorit. Yang juga membuat saya mengidolakan beliau, karena suaranya yang merdu dan kepiawaiannya menjadikan suara-suara amatir kami sebagai remaja puber menjadi harmoni yang padu.

Malam ini, berita mengejutkan itu datang. Ibu Rosalin SB Pareira dipanggil Tuhan pada usia 84 tahun. Enam tahun lalu, 22 Februari 2014, tanpa sengaja saya pernah bertemu beliau dalam acara tahbisan uskup di Sentul. Beliau masih sehat, gagah, walaupun ingatannya mulai pudar selama berbincang. Beberapa tahun setelahnya beliau kembali ke kampung halaman di Ende. Kini jiwanya bernyanyi bersama malaikat di surga. Tepat pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2020. Hidup baktinya sebagai pendidik pasti terus digaungkan melalui karya-karya anak didiknya.